Student Hidjo: Pencarian Jati Diri Anak Rantau Terjebak di Antara Dua Budaya

Selasa, 27 Mei 2025 07:01 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kegelisahan Setelah Membaca Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo
Iklan

Pencarian jati diri seorang pelajar Indonesia yang terjebak di antara budaya eropa dan tanah jawa.

Di masa kolonial Hindia Belanda, menjadi seorang pelajar bukanlah hanya soal menuntut ilmu saja, tetapi juga soal mencari jati diri. Inilah yang tergambar kuat dalam novel Student Hidjo, karya Marco Kartodikromo, seorang penulis progresif yang berani mengkritik kekuasaan kolonial lewat pena.

Tokoh utama dalam novel ini, Hidjo, merupakan pemuda yang berasal dari tanah Jawa dia mendapat kesempatan langka yakni dapat menepuh pendidikan ke negeri Belanda. Namun, dalam perjalanannya dia tidak sekadar menempuh janjang akademiknya saja. Ia harus menghadapi benturan budaya yang tajam antara nilai-nilai tradisional Jawa dengan gaya hidup modern Belanda. Di satu sisi, Hidjo masih memegang erat sopan santun, adat, dan tata krama dari tanah kelahirannya, Namun di sisi lain, ia juga terpesona oleh kebebasan berpikir, cara hidup individualis, dan pergaulan bebas yang ditemuinya di negeri Belanda. Hidjo seperti berjalan di tali yang renggang, terombang-ambing antara dua dunia sehingga memuat dia merasa bimbang akan dirinya sebagai orang jawa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Student Hidjo menggambarkan kegelisahan batin seorang anak bangsa yang "terpelajar", namun belum menemukan tempat berpijak. Hidjo tak sepenuhnya bisa menjadi orang Belanda, namun juga mulai merasa asing dengan adat Jawa yang dianggap kolot oleh lingkungan modernnya. Marco Kartodikromo dengan cerdas menampilkan dinamika ini sebagai bentuk kritik terhadap sistem pendidikan kolonial. Pendidikan yang seharusnya membebaskan justru menciptakan keterasingan dan kebingungan identitas bagi para murid bumiputra.

Lebih dari sekadar kisah pribadi, Student Hidjo adalah potret sosial. Marco menyoroti bagaimana pendidikan kolonial bukanlah alat emansipasi, melainkan alat asimilasi yang membentuk pelajar pribumi agar berpikir dan bertindak sama seperti Barat, tanpa benar-benar diterima sebagai bagian dari mereka. Novel ini juga menyuarakan keresahan generasi muda yang mulai sadar akan ketidakadilan kolonial. Hidjo bukan hanya tokoh fiksi, melainkan cerminan banyak pelajar pribumi saat itu yang terjebak antara idealisme modern dan kenyataan pahit penjajahan.

Meski ditulis lebih dari seabad lalu, Student Hidjo tetap relevan hari ini. Dalam era globalisasi, banyak anak muda Indonesia menghadapi dilema serupa: bagaimana menjadi modern tanpa kehilangan akar budaya? Bagaimana menyesuaikan diri dengan dunia global, tapi tetap membawa identitas lokal? Novel ini mengajak kita merenung tentang pendidikan yang bukan hanya soal ilmu, tapi juga tentang siapa kita dan untuk apa kita belajar.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler